Our Blog

Transformasi Budaya

ISLAM DAN TRANSFORMASI BUDAYA INDONESIA (3)
Dr. Abdul Hadi W. Muthahhari

Tasawuf dan Kebudayaan
Dalam konteks dan transformasi budaya masyarakatnya yang berbeda-beda, abad ke-17 M merupakan periode paling penting dalam sejarah. Setelah surutnya peradaban Hindu Buddha, kini kita menyaksikan munculnya peradaban baru yang selain sangat berbeda dengan peradaban-peradaban sebelumnya, juga menjadi faktor yang sangat kuat dalam proses integrasi bangsa ini di kemudian hari. Peradaban ini membuktikan dirinya sebagai peradaban yang didasarkan atas rasionalitas dan inetlektualitas, dibanding atas mitologi dan ritual. Kerasionalan ini didasarkan pula atas sendi-sendi keimanan yang tidak kalah kuatnya, sehingga tidak mengherankan kelak apabila Gellner (1992:48) mengatakan, “Dari peradaban tulis dunia (baca Kristen, Hindu, Konfusianisme dan Islam), kelihatan hanya Islam yang dapat mempertahankan keimanan pra-industrialnya dalam abad 21 yang akan datang.”.



Ini disebabkan karena Islam mempunyai dua tradisi yang saling melengkapi, terus dipertahankan dan dikembangkan, serta selalu diperbarui, yang mengikat baik tampilan universal dan kosmoplitannya di satu pihak, dan tampilan lokal dan nasionalnya di lain pihak. Dua tradisi menyediakan sumber-sumber ide dan ilham yang berlimpah bagi kreativitasnya dalam menghadapi setiap tantangan budaya dan peradaban lain yang dihadapkan kepadanya.

Yang pertama, tradisi besar yang terkandung dalam tasawuf filosofis dan syariat. Jika syariat memuat ketentuan-ketentuan hukum positif dalam menjalankan peribadatan dan keharusan membangun tatanan masyarakat Muslim yang berpegang pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, maka tasawuf mempunyai pandangan dunia yang inklusif yang mendorong bangkitnya budaya dagang dan aktivisme dalam kegiatan sosial dan intelektual. Yang kedua, tradisi kecil seperti tercermin dalam mistisisme popular yang dikembangkan tariqat-tariqat sufi dan aliran-aliran fiqih tertentu yang di telah benar-benar berfungsi, terutama dalam membentuk budaya-budaya lokal yang unik. Dua tradisi ini berkembang sebagai kelanjutan dari dialog lama antara kecenderungan ortodoksi dan heterdoksi, rasionalitas dan mitos, keperluan akan tertib sosial dan anarki, hukum Tuhan dan adat istiadat bikinan manusia, kota dan desa (Gellner 1981:4-5).

Dialog dan ketegangan antara dua kecenderungan itu mewarnai perkembangan Islam yang berlanjut di kawasan Nusantara yang lain. Periode ini sangat penting bagi bangsa Nusantara karena sebuah peradaban dan kebudayaan baru sedang digodog berdasarkan sebuah agama universal. Peradaban baru ini akan menjadi satu-satunya pilihan bagi penduduk Nusantara, disebabkan keunggulannya dalam membangun tradisi literasi. Bagi Islam sendiri, fase ini merupakan tahap penyempurnaan pemahaman terhadap ajaran agama. Ini ditandai dengan para sufi sebagai cendekiawan yang berwawasan luas, sebagai penulis yang kreatif dan produktif, terlibat dalam berbagai aspek kehidupan – sosial, politik, keagamaan, pendidikan, seni dan spiritualitas. Pendek kata sebagai agen-agen transformasi budaya dalam arti sebenarnya. Tasawuf yang mereka ajarkan, tidak seperti dituduhkan banyak sarjana, bukan tasawuf anti-sosial yang menegasikan dunia dan cenderung ke pasivisme. Tetapi tasawuf yang mengajarkan aktivisme, di samping `uzlah dan zuhud.

Datangnya tahapan ini didahului oleh dua gejala dominan dalam kehidupan intelektual: (1) Munculnya banyak sekali karangan, baik prosa maupun puisi, berisi renungan-renungan tasawuf yang mendalam tentang masalah ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan, serta arti penciptaan dan kedudukan manusia di alam dunia; (2) Munculnya teori kekuasan yang bertolak dari pendekatan sufistik dan diungkapkan melalui karya sastra (lihat juga Taufik Abdullah 2002). Gejala pertama tampak pada karya Hamzah Fansuri, berupa sejumlah -risalah tasawuf yang begtu filosofis dan mendalam, seperti Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi) dan Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), serta syair-syairnya yang indah dan memikat. Dalam karangan-karangan sufi dari Barus itu derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu tampak bukan saja pada persoalan yang dikemukakan, tetapi juga pada penggunaan bahasanya. Tidak kurang 1200 kata-kata dan ungkapan Arab diserap dan dijadikan perbendaharaan kata-kata Melayu yang serasi dalam syair-syairnya saja.

Gejala kedua tampak pada munculnya kitab ketatanegaraan bercorak sastra, Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja), karangan Bukhari al-Jauha.. Buku ini selesai dituliis pada 1603 M menguraikan adab pemerintahan yang ideal menurut Islam. Konsep-konsep dan pemerintahan raja-raja Melayu banyak diturunkan dari kitab ini. Negara tidak lagi dipandang sebagai sekadar refleksi dari kedirian seorang raja, tetapi juga sebagai pranata yang merupakan terwjudnya kesatuan yang harmonis antara raja dan rakyat, makhluq dan Khaliq, yaitu dengan melaksanakan keadilan dalam pemerintahan. Raja yang adil dan dipandang sebagai ‘Bayang-bayang Tuhan di muka bumi’ (Zill Allah fi al-`ardh), sedang raja yang zalim dan menurutkan egonya disebut ‘Bayang-bayang Iblis di muka bumi’.

Berdasarkan anggapan ini penulis Taj al-Salatin mengemukakan bahwa selama raja yang tidak adil tidak menimbulkan kekacauan dan anarki, maka tidaklah terlalu diacuhkan walaupun tidak pula harus dihormati. Ini karena meeka ini telah memalingkan wajahnya dari Allah, menyimpang dari hukum Tuhan dan menolak syariat. Konsep tentang tatanan pemerintahan yang ideal menurut Islam juga dipertegas. Yaitu dengan mengukuhkan lembaga yudikatif (qadi) yang berperan merumuskan dan melaksanakan hukum Islam, serta mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan. Pemberlakuan lembaga yudikatif ini juga berfungsi untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Didukung oleh fungsi ulama sebagai pemberi legitimasi bagi kekuasaannya, raja lantas tidak dapat berbuat sewenang-wenang.

Yang tidak kalah penting ialah bahwa sejak munculnya karangan-karangan Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, kegiatan penulisan kitab dan sastra bertambah subur. Khususnya di Aceh dan pusat-pusat penyebaran Islam lain di kepulauan Nusantara. Tampilnya para ulama atau ahli tasawuf dalam bidang penulisan karya ilmiah dan sastra ini meemperkuat peranan mereka dalam kehidupan intelektual atau keterpelajaran, di mana semangat kosmopolitan dan universal inheren di dalamnya. Sebutlah misalnya apa peranan yang dimainkan para ulama sufi yang juga penulis kitab keagamaan dan karya sastra yang prolifik seperti Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Abdul Rauf Singkel, Jamaluddin al-Tursani, dan lain-lain.

Syamsudin al-Sumatrani (wafat 1630 M) adalah sufi dan guru kerohanian yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan. Ia menjadi mufti dan pendamping utama Sultan Iskandari Muda (1607-1636 M) dalam menjalankan pemerintahan. Ia juga penganjur paham Martabat Tujuh dalam tasawuf yang ajarannya tersebar luas dan berpengaruh besar di seluruh kepulauan Nusantara. Tasawuf yang diajarkan selain praktis juga bercorak filosofis. Kitab yang ditulisnya tidak kurang tiga puluh buah. Kitab-kitab karangannya antara lain ialah Mir`at al Mu`minin, Jawhar al-Haqa`iq dan Nur al-Daqa`iq.

Ulama terkemuka lain yang sangat berpengaruh di bidang intelektual dan keagamaan ialah Nuruddin al-Raniri. Dia berasal dari Rander, Gujarat. Dia belajar bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah, dan menjadi ulama istana Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Nuruddin adalah penulis kitab fiqih pertama dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal antara lain Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja), Sirat al-Mustaqim, Hill al-Zill, Jawhar al-`Ulum, Hujjat al-Siddiq, Tybian fi Ma`rifah al-Adyan, Syaif al-Qulub, Ma` al-Hayat dan lain-lain (Ahmad Daudy 1982). Karya-karya Nuruddin al-Raniri di bidang fiqih, tasawuf dan sejarah merupakan sumber rujukan para ulama Nusantara hingga abad ke-19 M.

Penulis besar lain yang muncul pada akhir abad ke-17 yang tidak kalah besar pengaruhnya di Nusantara ialah Abdul Rauf al-Singkili. Dia hidup pada masa pemerintahan Sultan Taj al-Alam (1641-1683 M). Karyanya yang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir al-Qur’an pertama dalam bahasa Melayu. Karyanya tidak kurang dari 27 buah, di antaranya Syair Makrifat, Daqa`i al-Huruf, Mir`at al-Tullab dan Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslakul Mufridin. Seperti Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Kitab-kitabnya tentang tasawuf, ilmu syariah dan tafsir al-Qur’an dipelajari hingga masa yang akhir ini di lembaga-lembaga pendidikan Islam dan pengajian-pengajian tariqat sufi, khususnya Tariqat Sattariyah yang pernah dipimpin olehnya sepulang dari Mekkah (T. Iskandar 1983).

Kitab-kitab yang ditulis di Aceh pada abad ke-17 M ini berperan besar dalam transformasi pemikiran keagamaan dan kebudayaan di Indonesia. Bukti luasnya penyebaran dan pengaruh kitab-kitab Aceh ialah banyaknya salinan naskah dari kitab-kitab tersebut yang dibuat oleh penyalin di daerah yang berbeda-beda di berbagai pusat penyebaran Islam di kepulauan Nusantara. Salinan dan terjemahan risalah tasawuf Hamzah Fansuri dijumpai dalam bahasa Jawa. Salah satu naskah yang dijumpai ialah koleksi Sultan Banten abad ke-17 M. Risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani dijadikan sumber rujukan utama penulis-penulis suluk di Jawa seperti Yasadipura I, Yasadipura II dan Ranggawarsita.

Buku Aceh lain yang besar pengaruhnya, tentu saja Taj al-Salatin. Naskah Melayunya saja masih disalin pada abad ke-19 M dan berbagai versi terjemahannya dalam bahasa Jawa dijumpai cukup banyak di Museum Sana Budaya Yogya dan Museum Radya Pustaka Solo. Terjemahan atau saduran yang terkenal dalam bahasa Jawa ialah karya Yasadipura I, pujangga kraton Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana III akhir abad ke-18 M, dengan judul Serat Tajussalatin. Pada abad ke-19 M, di Riau Penyengat, Raja Ali Haji menyusun kitab ketatanegaraan Tsamrat al-Muhimmah, yang merupakan perluasan dari kitab-kitab sejenis yang ditulis di Aceh pada abad ke-17 dan 18 M.

Demikianlah proses islamisasi tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung di kepulauan Melayu. . Tetapi di Jawa jalannya proses itu berbeda. Di sini proses islamisasi menempuh jalan dan menuju ke dua arah berbeda yang kerap menjadi sumber ketegangan. Yang pertama, di kawasan pesisir seperti Gresik, Tuban, Demak, Cirebon, Banten dan Madura yang sejak abad ke-15 dan 16 M telah menerima Islam dan menjalani tahapan yang relatif mirip dengan di dunia Melayu Di sini tariqat sufi berkembang pesat sebagai pendukung emporium dan imperium Islam, dan para ulama terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan. Penulisan risalah tasawuf atau suluk berkembang pesat, begitu pula penyaduran hikayat-hikayat Melayu Islam. Arahnya ialah terbentuknya tradisi integratif di mana Islam dijadikan sebagai bagian intrinsik dari kebudayaan masyarakat setempat. Suatu kecenderungan yang juga berlaku di kalangan suku-suku Melayu, Aceh, Gayo, Mandailing, Minangkabau, Palembang, Bugis, Makassar, Banjar, Bima dan lain-lain.

Dalam tradisi integratif ini, secara konseptual Islam dijadikan sebagai landasan kultural. Komunitas etnik pendukungnya dalam mengenal dan memberi makna terhadap segala sesuatu bertolak dari ajaran Islam. Ini tercermin dalam struktur kekuasaan dan sistem pengaturan sosial mereka di mana ulama, cendikiawan dan saudagar kaya menempati strata yang tinggi, mendampingi elit bangsawan. Sedangkan adat istiadat, tatanan sosial dan bentuk-bentuk ekspresi budaya yang sudah mapan diberi makna baru berdasarkan pandangan hidup (way of life), sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung) Islam.

Yang kedua, kawasan kraton baru dan sekitarnya di pedalaman yang baru menerima Islam pada abad ke-17 dan 18 M. Di sini adalah tradisi dialog yang ditempuh. Islam sebagai doktrin keagamaan dibedakan dengan Islam sebagai pandangan hidup. Budaya Islam tidak sepenuhnya dijadikan landasan kultural. Kalau di pesantren Islam diterima sebagai pandangan hidup di samping sebagai agama wahyu, di kraton Islam hanya diterima sebagai agama. Tetapi pandangan hidupnya didasarkan pada budaya yang telah lama berkembang sebelum datangnya Islam. Apabila dalam tradisi integratif cara berpikir dan adab yang tidak didasarkan pada Islam dipandang sebagai penyimpangan dan bentuk heterodoksi yang sukar diterima, dalam tradisi dialog hal-hal seperti itu dipandang sebagai kewajaran sejauh selaras dengan nilai-nilai budaya setempat yang telah dirumuskan secara jelas dalam karya-karya sastra yang ditulis di kraton.

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemikiran dari ulama dan cendekiawan sufi terhadap kebudayaan, sangat banyak contoh bosa diberikan. Tetapi cukuplah beberaja dikemukakan di sini. Dalam wilayah politik dan ketatanegaraan, konsep seperti ‘raja adil raja disemba’, ‘raja sebagai ilil albab’ dan lain-lain dapat dicari sumbernya dalam kitab Taj al-Salatin, Bustan al-Salatin, dan lain-lain. Begitu pula konsep seperti Dar al-Islam yang digunakan oleh raja-raja Nusantara untuk menyebut nama negerinya seperti Samudra Dar al-Salam, Aceh Dar al-Salam, Brunei Dar al-Salam, dan lain-lain, bersumber dari kitab-kitab sejenis. Begitu juga sebutan raja-raja Melayu seperti Syah dan Sultan, dan gelarnya seperti Khalifah Allah di muka bumi. Gelar serupa digunakan pula oleh raja-raja Jawa seperti Sultan Agung, Amangkurat IV, Hamengkubawana, bahkan juga Pangeran Diponegoro, dengan berbagai tambahan.

Salah satu konsep penting dalam tasawuf yang demikian mempengaruhi pandangan hidup dan gambaran dunia (Weltanschaung) orang Melayu dan masyarakat Muslim Nusantara lain ialah konsep ‘faqir’ atau ‘dagang’. Konsep ini djelaskan secara rinci mula-mula oleh Hamzah Fansuri dan penulis kitab Taj a-Salatin. Dijelaskan bahwa walaupun dunia ini merupakan tempat persinggahan sementara bagi manusia, namun tidak berarti bahwa kehidupan atau dunia ini tidak penting. Dunia menjadi penting karena di sini seseorang harus mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya agar bisa pulang ke kampung halamannya dengan selamat. Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan amal ibadah.

Konsep ini dikembangkan berdasarkan sebuah hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur”gharib (asing) menjadi ‘dagang’, yang dalam bahasa Melayu berarti orang yang merantau ke negeri asing untuk berniaga. Penerjemahan itu dilakukan sejalan dengan konteks dengan sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara yang dimulai dengan kedatangan para pedagang Arab dan . Pada waktu bersamaan ia menghubungkannya dengan konsep faqr yang telah dikenal dalam tasawuf. (”Jadilah orang asing di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Ini berlaku bagi seluruh pemeluk agama Islam. Konsep inilah yang melahirkan etos atau budaya dagang, semangat jihad, pengurbanan diri dan semangat mementingkan kepentingan sosial di atas kepentingan diri. Hamzah Fansuri menerjemahkan kata-kata Dalam syairnya Hamzah Fansuri menulis:




1

Hadis ini daripada Nabi al-Habib

Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib

Barang siapa da’im kepada dunia qarib

Manakan dapat menjadi habib



2

Hidup dalam dunia upama dagang

Datang musim kita ’kan pulang

La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang

Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang



Arti dari petikan ayat ”La tasta’khiruna sa`atan” (Q 34:30) ialah tidak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari sudut agama kata ‘anak dagang’ diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah seseorang yang menyadari bahwa kehidupan yang benar hanya bersama Tuhan, dalam keimanan terhadap-Nya sebagai hakikat wujud tertinggi. Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqr yang oleh ahli-ahli tasawuf diberi arti sebagai ”Pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan. Sejalan dengan pengertian ini Hamzah Fansuri mengemukakan contoh faqir sejati ialah Nabi Muhammad s.a. w. Kefakiran Rasulullah itu tiada tandingnya, tidak tamak walaupun makan, gemar beruzlat dan zuhud tanpa meninggalkan aktivitas sosial dan kemanusiaan. Walau hatinya terpaut hanya kepada Tuhan, Nabi aktif menjalankan tugasnya sebagai khalifah Tuhan di atas dunia ( “Rasul Allah itulah yang tiada berlawan/Meninggalkan tha`am (tamak) sungguh pun makan/`Uzlat dan tunggal di dalam kawan/ Olehnya duduk waktu berjalan”)

Jika ditelusuri secara mendalam, arti yang dikandung dalam konsep faqr dan dagang, dapat dikatakan mendasari semangat sosialisme religius yang terpanjar dari ajaran kemasyarakatan Islam yang intipatinya adalah keadilan sosial dan pemarataan kesejahteraan. Semangat ini mendasari kehidupan masyarakat Muslim sejak awal, seperti tercermin dalam kehidupan pesantren, tariqat dan gilda-gilda sufi (ta`ifa). Kegiatan perdagangan yang dilakukan pedagang Muslim dan gilda-gilda itu tidak hanya membuat makmur para pedagang, tetapi juga perajin, tukang dan muballigh. Di lingkungan pedesaan para petani dan kiyahi juga ikut menikmati kemakmuran, sebagaimana anggota tariqat yang lain. Begitulah gagasan kefakiran melahirkan semacam kolektivisme atau semangat gotong royong seperti pernah kita agungkan.

Tidak mengherankan jika sosialisme semacam ini yang dijadikan perjuangan Sarekat Islam (SI) – gerakan kebangsaan paling awal yang muncul di Indonesia dan didirikan pada tahun 1905. Partai Islam lain sesudah kemerdekaan yang memperjuangkan asas ini ialah Masyumi, sebagaimana tercermin dalam tulisan tokoh-tokohnya seperti MuhammadNatsir dan Syafrudin Prawiranagara. Ditelusuri ke belakang sejarahnya, apa yang diperjuangkan SI merupakan lanjutan dari gerakan-gerakan keagamaan abad ke-19 M yang berjuang keras menentang penjajahan.

Pengertian spiritual dari sosialisme seperti dikemukakan tokoh-tokoh Islam itu, dalam hubungannya dengan makna dari konsep faqr atau dagang, sebenarnya tercermin juga dalam pernyataan Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi, sufi abad ke-11 M, yang mengatakan “Kefakiran berarti tidak sesuatu pun dirasakan sebagai milikmu, atau jika memang kau memiliki kekayaan, jangan anggap itu milikmu. Ini sejalan dengan firman Tuhan dalam al-Qur’an: Sedangkan mereka itu mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding kepentingan mereka sendiri, sekali pun mereka berada dalam kesuaran’” (Arberry 1976:118). Syekh Ruwaym mengatakan, “Ciri faqir sejati ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama dan kemanusiaan.” (Nicholson 1982:43).

Contoh lain ialah pertemuan Islam yang diwakili Tasawuf dengan Hinduisme di Sumatra pada abad ke-14 – 16 M yang diwakili oleh Tantrisme, khususnya sempalannya yang nyleneh Tantrisme Bhirawa. Sebuah hikayat Melayu abad ke-16 M, Hikayat Syah Mardan menyebutkan dengan eksplisit pertarungan antara dua bentuk mistisisme itu seraya melukiskan upacara korban tidak manusiawi yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Tantrisme Bhirawa itu di hutan-hutan Sumatra. Braginsky dalam bukunya Hamzah Fansuri memaparkan kembali cerita itu untuk menjelaskan peranan ahli tasawuf dalam penyebaran Islam.

Tantrisme Bhirawa disebarkan oleh Adityawarwan, penguasa Majapahit di kepulauan Melayu pada abad ke-14 M, merupakan aliran sinkretik yang mencoba mencampur dan memadukan prinsip-prinsip ajaran Hindu dan Buddha. Dalam perkembangannya aliran ini pecah lagi menjadi aliran-aliran yang lebih kecil, mulai dari yang moderat hingga yang ekstrim. Menurut paham Tantrisme, tujuan utama dari kehidupan manusia ialah kelepasan atau pembebasan (moksha) dari saamsara dan kungkungan alam maya. Jika hal itu dicapai maka tercapailah persatuan mistis dengan Yang Mutlak dan Transenden, dan ini memberikan kenikmatan tertinggi.

Dalam aliran Syiwa, Yang Mutlak disebut Paramasyiwa. Dalam aliran Buddhis, Yang Mutlak disebut Paramasunya. Yang Niskala (abstrak) itu diterangkan melalui istilah-istilah yang negatif seperti ‘yang tidak terlahirkan’.’yang tidak terbandingkan’, ‘yang tidak bersifat’, ‘yang tidak berawal dan berakhir’ dan seterusnya. Sering juga istilah positif digunakan seperti ‘yang abadi’, ‘yang sempurna’, ‘yang halus’ (suksma sejati). Penampilan immanent absolute yang paling umum diterima dalam Tantrisme di Sumatera dan Jawa ialah dalam bentuk Cahaya-Nya dan juga dalam kombinasi bunyi dan suku kata Om yang merupakan manifestasinya ddan sekaligus ‘benih dewa’.

Pembebasan dapat dilakukan dengan penyatuan diri dengan Yang Mutlak melalui samadhi dan meditasi, atau kadang-kadang melalui ‘lima jalan kenikmatan’, yaitu pelanggaran terhadap lima pantangan bagi seorang yang melaksanakan samadhi. Lima pantang itu ialah makan daging, minum anggur, bersanggama, dan lain-lain, dan juga melalui yoga. Penganut tantrisme di Jawa dan Sumatra jarang mengamalkan yoga klasik yang kompleks, tetapi bentuk yoga yang telah lebih disederhanakan. Sistem ini didasarkan atas kesamaaan antara makrokosmos (dewa yang menyatakan diri dalam segenap tatanan alam) dan mikrokosmos (yaitu si penyembah dan penuntut yoga). Tanda-tanda datangnya pembebasan dijumpai pada saat ekstase.

Persatuan mistik yang dicapai melalui samadi dan meditasi sempurna apabila seorang yogin telah sarat dengan gambaran tentang dewa yang dpiuja sehingga yang lain lenyap dari pikirannya. Dia tidak lagi menyadari keberadaan dirinya dan tenggelam dalam kenikmatan ekstase. Tantrisme pecah ke dalam aliran, yang masing-masing mengembangkan jenis meditasi dan cara mencapai ekstase. Pada abad ke-13 dan 14, kepelbagaian aliran tersebut melahirkan bentuk-bentuk yang demonik dalam peribadatan. Mialnya seperti nampak dalam upacara aliran Bhirawa (artinya seram dan mengerikan), khususnya dalam praktek penyembahan Dewa Heruka yang dahsyat dan mengerikan.

Di Sumatra upacara dilakukan di Candi Padang Lawas, 100 km dari Barus, kota pelabuhan di pantai barat Sumatra (dekat Sibolga) yang pada abad ke-13 dan 14 M merupakan pusat kegiatan sufi dan penyebaran agama Islam. Di sinilah Hamzah Fansuri, seorang penyair sufi terkemuka abad ke-16 – 17 M, dilahirkan dan dibesarkan. Pemujaan terhadap Heruka dalam Tantrisme Bhirawa biasa dilakukan pada malam hari di tempat pembakaran mayat. Mayat yang dibakar dijadikan sajian sebagai persembahan kepada dewa mereka. Unsur utama pemujaan adalah pengurbanan nyawa manusia melalui kobaran api yang mendatangkan bau tersendiri dan bau itulah yang menimbulkan ekstase. Semakin memualkan bau dagng terbakar, semakin memberi kenikmatan. Mereka membandingkan bau tersebut dengan keharuman bunga yang mampu membebaskan seseorang dari inkarnasi baru dan samsara.

Mayat yang dikorbankan diletakkan di tempat pemujaan dengan telentang, kaki dilipat di bawah paha, tangan terikat dan kepala didongakkan. Dengan demikian isi perut mudah dikeluarkan. Pendeta membelah perut hingga ke rusuk bawah, lalu duduk di atasnya, merenggut jantung keluar dan memenuhi tengkorak manusia dengan darah. Beberapa teguk darah diminum dan dibayangkan sebagai anggur sorgawi yang lezat. Setelah itu api unggun dinyalakan dan para penuntut aliran ini tenggelam dalam meditasi. Selama meditasi berlangsung, Heruka terbayang melalui kepulan asap. Ekstase dicapai saat tengah malam tiba. Pada saat demikian, mereka menari-nari mengitari api unggun dengan kentongan yang dibuat dari tulang belulang manusia, sambil tertawa terbahak-bahak. Makin malam, dewa Heruka akan makin senang memperoleh sesembahan dan korban seperti itu. Upacara berakhir dengan persetubuhan massal.

Setelah membaca penggambaran upacara korban manusia dalam Hikayat Syekh Mardan, R. O. Windstedt (1961) mengatakan, jika demikian halnya maka tepatlah apabila Islam yang mampu menggantikan pengaruh agama ini. Alasan Windstedt karena di dalam Islam terdapat ajaran mengenai hakikat wujud Tuhan yang lebih murni. Lagi pula tidak seperti Tantirsme yang mengajarkan agama untuk kasta Brahmana dan Kesatria saja, Islam mengalamatkan ajarannya untuk semua lapisan dan golongan masyarakat. Yang dimaksud Windstedt adalah tasawuf. Kesimpulannya diperoleh setelah dia membaca Hiokayat Syah Mardan sebuah alegori sufi Melayu yang popular, yang di dalamnya adegan kurban mayat manusia dipaparkan dan juga diperangi oleh para sufi.

Dari segi pokok ajarannya, tasawuf memperlihatkan beberapa persamaan dengan Tantrisme. Misalnya doktrin tentang anggur dan cinta ilahi, simbolisme laut, tetapi bukan lautan darah. Selain itu dalam tasawuf tidak ada adegan syahwat dan ekstase dii kuburan dengan mengorbankan nyawa manusia. Anggurnya bukan darah., tetapi lantunan zikir yang juga mampu mendatangkan ekstase mistik. Kritik terhadap praktek meditasi Tantrisme itu juga dijumpai dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Dia berjuang dengan gigih untuk mengubah praktek tersebut dengan metode yang lebih manusiawi bukan dengan penyiksaan secara ragawi.



Syariah dan Aktivisme Islam
Syariah dan tasawuf dipandang oleh ahli-ahli sejarah kebudayaan sebagai sendi utama terbentuknya kebudayaan Islam. Ini benar terutama semenjak abad ke-13 M, khususnya di bagian timur Dunia Islam, sebelum dan terlebih-lebih sesudah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada 1258 M. Ketakhadiran falsafah rasional ala al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, tidak menyebabkan peradaban Islam kehilangan dimensi rasional dan intelektual oleh karena falsafah sebenarnya telah merembes masuk ke dalam tasawuf. Khususnya melalui pemikiran Imam al-Ghazali, Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn `Arabi yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan tradisi intelektual Islam.

Tetapi sebagaimana falsafah, tasawuf juga mengandung benih-benih pemikiran yang dapat bertabrakan dengan syariah. Kemungkinan munculnya berbagai paham heterodoks dalam tubuh tasawuf yang tidak diinginkan oleh para pendukung syariah, sama besarnya dengan kemungkinan munculnya pemikiran liberal yang dianggap nyleneh dan menyimpang seperti terjadi pada perkembangan Mu`tazila. Jika ketegangan itu muncul, maka kekuatiran akan terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Muslim sangat beralasan. Ini rupa-rupanya disadari oleh ulama-ulama di Nusantara sejak akhir abad ke-16 M, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan Nuruddin al-Raniri.

Nuruddin al-Raniri sebenarnya seorang ahli tasawuf dan malahan mengaku sebagai penganut paham wujudiyah yang diajarkan Ibn `Arabi. Tetapi karena pengalaman buruk yang disaksikan di India, di mana penafsiran yang berlebihan terhadap ajaran Ibn `Arabi melahirkan paham sinkretik dan heterodoks pada abad ke-16 M, maka sejak kehadirannya di Aceh pada tahun 1637 M Nuruddin al-Raniri gencar sekali mengecam pengikut dan pemimpin ajaran heterodoks. Kecaman itu tertuju pada ahli-ahli tasawuf yang cenderung berpikiran pantheistic dan memandang remeh syariah. Sebagai seorang sufi, Nuruddin sebenarnya tidak memandang tasawuf itu tidak penting. Namun dengan lebih menekankan pada syariah, pemikirannya lantas kehilangan banyak dimensi filosofis yang dimiliki tasawuf pada umumnya ketika itu.

Dengan munculnya Nuruddin al-Raniri, proses ke arah ortodoksi pun mulai. Penekanan pada syariah dan fiqih yang merupakan rincian syariah lantas menjadi gejala dominan pada tahapan keempat perkembangan Islam. Tradisi penafsiran ajaran agama yang bercorak hermeneutik lantas diganti dengan penafsiran rasional formal. Tasawuf lantas lebih dipahami sebagai media untuk meningkatkan intensitas ibadah dan penyempurnaan akhlaq. Konsep zuhud (semacam asketisme) diterjemahkan menjadi kesalehan ssial dan pengendalian diri dari kecenderungan materialisme dan hedonisme yang merusak kepribadian seorang Muslim, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali. Penekanan terhadap syariah ini juga melahirkan pandangan hidup yang lebih berorientasi kepada aktivitas sosial dan keduniaan.

Tetapi tokoh yang paling berkompeten dalam menjelaskan kecenderungan ini ialah Abdul Rauf al-Singkili. Ulama yang masih mempunyai pertalian darah dengan Hamzah Fansuri ini merupakan sufi pertama di Nusantara yang menyusun kitab kodifikasi hukum Islam yang komprehensif dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal ialah Mir`at al-Tullab fi Tashil Ma`rifat Ahkam al-Syar`iyyah atau Cermin bagi mereka yang meuntut ilmu fiqih pada memudahkan mengenal segala hukum Syara` Allah. Kitab ini menjadi semacam kitab induk bagi mereka yang ingin mempelajari syariah dalam bahasa Melayu. Mir`at al-Tullab menjadi rujukan utama penyusunan undang-undang Islam di Nusantara dan menjadi bacaan yang popular di kalangan ulama dan raja-raja Melayu hingga abad ke-19 M.

Karena berbagai alasan yang dapat dimengerti, yaitu demi tegaknya syiar Islam dan kokohnya perkembangan masyarakat Islam, penekanan terhadap syariah ini mendapat sambutan luas dari ulama dan raja-raja pesisir, serta sejumlah tariqat sufi dan pesantren-pesantren di berbagai pelosok Nusantara. Penguasa pesisir menyambut baik karena memerlukan kepastian hukum dalam keamanan dan ketertiban, serta dalam menjalankan kegiatan perdagangan. Peranan ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah terrsebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daud al-Fatani, Nawawi al-Bantani, Ahmad Rifa`i Tegal, Abdul Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung menekankan signifikansi syariah dan fiqih.

Tentu saja pengaruh awal dari kitab Abdul Rauf itu dirasakan di Aceh sendiri. Kanun Aceh dengan tegas menerapkan Syariat Islam. Di situ dikatakan misalnya bahwa “Diwajibkan bagi rakyat Aceh untuk belajar dan mengajar agama Islam dan syariat Nabi Muhammad s.a.w; atas mazhab ahlul Sunnah wal Jama`ah”. Orientasi pada aktivitas keduniaan juga ditekankan. Misalnya disebutkan dalam kanun tersewbut: “Diwajibkan bagi rakyat Aceh belajar dan mengajar jual beli di dalam dan luar negeri; belajar dan mengajar mengukir; memelihara ternak yang halal dan bermanfaat; mengerjakan kenduri Maulid.” (Ibrahim Alfian 2005).

Pesantren-pesantren yang biasanya berada di pedesaan dan pedalaman menyambut baik disebabkan munculnya banyak penyimpangan terhadap ajaran agama, disebabkan penafsiran yang keliru terhadap pokok-pokok ajaran tasawuf. Khususnya yang berkaitan dengan masalah ketuhanan. Munculnya banyak gerakan heterodoks dan pembangkangan terhadap agama di berbagai daerah sangat menghambat sosialisasi ajaran Islam dan mengganggu perkembangan pesantren. Ketika itu pesantren, atau dayah di Aceh dan surau di Minangkabau, telah tumbuh sebagai lembaga pendidikan supra-desa. Murid-murid dan para pengajarnya tidak hanya berasal dari tempat di mana pesantren itu berada, tetapi juga dari berbagai pelosok Nusantara. Mau tak mau bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar, selain bahasa Arab. Dengan memanfaatkan jaringan intelektual yang dibina oleh pesantren-pesantren ini, gagasan keagamaan ulama ortodoks tersebar luas di seluruh pelosok Nusantara.

Tariqat-tariqat sufi tertentu, khususnya Tariqat Sattariyah yang di kepulauan Melayu dinisbahkan kepada Abdul Rauf Singkel sebagai pendirinya, terjadi pula pembaruan. Disusul kemudian oleh tariqat-tariqat lain seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah dan Tijaniyah. Dimulai di Aceh sendiri melebar ke Minangkabau dan ke tempat-tempat lain yang lebih jauh lagi seperti kepulauan Melayu, Semenanjung Malaya, pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara Barat dan Maluku. Ketegangan dengan kaum heterodoks dan kaum adat pun tidak bisa dihindari di berbagai tempat. Benturan paling sengit terjadi misalnya di Minangkabau dan Jawa Tengah. Di Jawa sebenarnya telah terjadi semenjak abad ke-17 M, tidak lama setelah gerakan ortodoksi mulai ditiupkan oleh Nuruddin al-Raniri.

Tetapi aktivisme Islam, dan kekuatannya sebagai faktor penjalin integrasi etnik-etnik Nusantara yang berbeda-beda itu, menampakkan wajahnya yang jelas setelah terjadinya konfrontasi dengan kolonialisme Belanda. Ini dimulai sejak pertengahan abad ke-17 M dengan pecahnya Perang Ternate (1635-1646 M), Perang Makassar (1660-1669 M), Perang Trunojoyo (1675-1679 M) di Jawa, Perang Banten (1680 – 1682 M), dan terutama dalam perang anti-kolonial sejak akhir abad ke-18 M ketika VOC bangkrut dan menyerahkan wilayah yang dikuasainya di Nusantara kepada pemerintah Hindia Belanda. Yang paling sengit dan menimbulkan kerugian besar bagi pihak Belanda di antaranya berturut-turut ialah Perang Cirebon (1802-1806 M), Perang Palembang (1812-1816 M), Perang Paderi (1821-1838 M) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830 M) di Jawa, Perang Banjarmasin (1859-1862 M) dan Perang Aceh (1872-1908 M). Semua aksi bersenjata melawan kolonialisme ini digerakkan oleh raja-raja atau pangeran pesisir, ulama dan pemimpin tariqat beserta santri-santri mereka.

Perang Ternate dimulai dari Hitu dan Ternate sebagai protes terhadap monopoli perdagangan rempah-rempah oleh VOC. Pemimpin perang itu ialah Kapitan Hitu Himese Muslim Kaluali, murid Sunan Giri. Perang dimenangkan VOC, pemimpinnya ditangkap dan dihukum mati. Tetapi agama Islam justru semakin tersebar di kepulauan Maluku. Perang Trunojoyo pada mulanya adalah pembrontakan terhadap penguasa Mataram yang menindas kaum ulama, Amangkurat I. Campur tangan VOC membuat perang semakin berkobar dan meluas di sepanjang pesisir Jawa Timur dan Jawa Tengah. Trunojoyo, pangeran dari Madura yang memimpin pembrontakan itu adalah murid Pangeran Giri dari siapa ia mendapat dukungan. Dukungan juga diperoleh dari Kraeng Galesong dan pelaut-pelaut Bugis, serta para ulama di Jawa dan murid-murid mereka. Dimensi perang ini lantas tidak hanya berskala lokal, tetapi melibatkan tiga etnis besar – Madura, Jawa dan Bugis.

Perang Banten melawan VOC pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa juga demkikian. Perang ini didukung penuh oleh Syekh Yusuf Makassar, murid Syekh Abdul Rauf Singkel dari Aceh. Sebelum belajar di Aceh, Syekh Yusuf belajar agama di Banten dan sepulangnya dari Mekkah dia mengajar di Banten. Kemenangan VOC dalam perang itu menyebabkan Syekh Yusuf Makssar dibuang ke Afrika Selatan bersama para pengikutnya. Di sana ia mengembangkan dan menyebarkan agama Islam. Masih di wilayah Banten, serangkaian pembrontakan petani sepanjang abad ke-18 dan 19 M sebagaimana di daerah lain di pulau Jawa dan Madura, selalu berada di bawah panji-panji Islam. Misalnya pembrontakan petani di Cilegon pada 1888 M. Kerangka organisasi gerakan ini disusun oleh anggota-anggota Tariqat Qadiriyah.

Perang Diponegoro atau yang dikenal juga sebagai Perang Jawa, juga melibatkan kaum santri. Sebagian besar pasukan tentara Diponegoro adalah ulama, ustadz, dan santri-santri dari berbagai pesantren. Pemimpin spiritual dari perang ini ialah Kiyai Maja, mursyid Tariqat Naqsabandiyah di mana Pangeran Diponegoro menjadi anggotanya. Ini yang menyebabkan mereka dihormati oleh rakyat dan mendapat dukungan luas dari segenap ulama di pulau Jawa. Diponegoro sendiri mengambil nama salah seorang Sultan Turki Usmani, yaitu Abdul Hamid, sebagai gelar bagi dirinya. Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat dan dibuang mula-mula ke Menado, kemudian Makassar. Perang ini menyebabkan agama Islam lebih pesat lagi berkembang di pedalaman Jawa.

Perang Paderi di Sumatra Barat berakar dalam konflik kaum adat dan pembaru Tariqat Sattariyah. Pada akhir abad ke-18 M Tuanku Nan Tua dari Agam melakukan pembaruan dalam tubuh Tariqat Sattariyah. Gerakan yang dilancarkannya itu menimbulkan benturan panjang dengan kaum adat. Beberapa murid Tuanku Nan Tua seperti Tuanku nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol menerima ide pemurnian agama dari Wahabisme. Lahirlah gerakan Paderi. Ketegangan kian meningkat dan pada tahun 1821 pecahlah perang antara kaum Paderi dan kaum Adat. Dalam perkermbangannya, perang ini akhirnya mengundang campur tangan Belanda, karena kepentingannya atas tanah perkebunan yang dikelolanya.. Meskipun gerakan Paderi dapat ditundukkan oleh Belanda, namun pengaruhnya tidak berakhir dengan berhentinya peperangan. Ide-ide gerakan ini malahan tersebar luas merasuki seluruh jalinan sosial masyarakat Minangkabau. Dampak jangka panjangnya terasa di kepulauan Melayu. Gerakan Paderi membuka jalan bagi lahirnya gerakan pembaruan pada akhir abad ke-19 M.

Perang Aceh adalah perang paling lama. Perang ini diorganisir oleh para ulama, setelah seruan fatwa jihad dari Syekh Abdul Samad al-Falimbangi. Dengan demikian perang ini memiliki dimensi supra-lokal di samping dimensi keagamaan. Fakta-fakta sejarah seperti inilah yang membuat banyak sarjana seperti Rolf, Benda dan Jansen berpendapat bahwa hadirnya penjajahan Belanda bersama misi Kristennya selama tiga abad di Nusantara membuat kebangkitan Islam semakin liat dan kental. Malahan dapat dikatakan Islam justru berkembang pesat pada masa kolonial. Ini disebabkan tiadanya kekuatan lain yang berpotensi menentang hadirnya kolonialisme. Agama Kristen datang dibawa oleh misionaris dengan dukungan kolonial. Masuk Kristen sama dengan membela penjajah. Identifikasi Islam dengan gerakan anti-kolonial menjadi wahana efektif bagi kian intensifnya perkembangan agama ini, sekaligus menjadi faktor penentu integrasi bangsa di kemudian hari.

Oleh karena itu menarik juga pernyataan Jansen (1993). “Dapatkah gerakan Asia-Afrika muncul tanpa Islam? Gerakan-gerakan nasional yang mengakhiri riwayat imperialisme sejak tahun 1945 di Asia dan Afrika mungkin tampak sekular, tetapi nasionalisme sekular datang terlambat karena 150 tahun sebelumnya dasar-dasar suprastruktur nasional telah diletakkan oleh kekuatan-kekuatan Islam dan pemimpin-pemimpin Muslim.” Demikianlah Islam sesungguhnya telah melahirkan sebuah proto-nasionalisme yang unik yang memberi corak khusus kepada nasionalisme yang berkembang di luar negara Barat. Nasionalisme di Eropa sejak digagaskan oleh Rosseau pada awal abad ke-19 merupakan perluasan dari chauvinisme yang telah tumbuh di Eropa, dan kemudian tampil di pentas sejarah sebagai penopang kapitalisme dan imperialisme. Kolonialisme adalah bentuk penguasaan dan penindasan atas bangsa lain oleh suatu bangsa yang merasa menjunjung tinggi kebangsaan dan hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.

Nasionalisme seperti yang digagaskan oleh tokoh awal gerakan kebangsaan seperti Sukarno dan Hatta berbeda dan bahkan bertentangan dengan nasionalisme sekular yang diagungkan Barat. Ciri nasionalisme yang tumbuh dari penjajahan ini ialah: (1) Di bidang politik melenyapkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikan dengan sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat; (2) Di bidang sosio-ekonomi mengakhiri eksploitasi ekonomi oleh bangsa asing dan membangun masyarakat yang adil dan makmur; (3) Di bidang budaya membangkitkan identitas bangsa dan menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. (Ruslan Abdulgani 1995).

Nasionalisme seperti ini mendapat coraknya dari perjuangan Islam menentang penjajahan selama lebih 300 tahun.

Kenapa Islam begitu gigih menentang kolonialisme? Jika kita rumuskan pendapat beberapa sejarawan maka jawabnya ialah: (1) Watak ajaran Islam itu sendiri yang tidak membedakan kegiatan agama dan politik. Ini jelas memberi dasar keyakinan yang kuat dan efektif dalam menentang kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan; (2) Sebelum munculnya gerakan anti-kolonial yang diorganisir oleh orang Islam tidak ada bentuk nasionalisme yang mampu menjadi penggerak besar gerakan-gerakan kebangssaan. Islam berpotensi karena memiliki struktur-struktur tradisional yang diperlukan seperti pesantren, madrasah, masjid, haji, majlis taklim dan pengajian-pengajian, gerakan pemuda (futuwwa), organisasi dagang, tariqat sufi – yang semuanya itu melengkapi struktur perjuangannya secara terorganisir; (3) Islam melalui ulama dan pemimpin tariqatnya menyediakan kader-kader pemimpin yang terdidik dan memahami benar-benar ajaran agama.

Struktur-struktur yang diperlukan untuk melawan kolonialisme itu tidak dipunyai penguasa, elit, terpelajar sekular dan tuan tanah sekular yang biasanya berada di pihak penguasa asing. Tetapi para ulama dekat dengan rakyat. Ferdinand de Lessep, pembangun Terusan Suez, mungkin benar ketika berkata “Bukan fanatisme yang mendorong semangat kaum Muslimin menentang penjajahan, tetapi agama dan jiwa kebudayaan Islam itu sendiri yang mampu mempersatukan perjuangan mereka.”

TRUMON Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Theme images by richcano. Powered by Blogger.